Majelis Gajah di Pekanbaru Ajak Jaga Gajah, Simbol Harga Diri Pulau Sumatera

Majelis Gajah di Pekanbaru Ajak Jaga Gajah, Simbol Harga Diri Pulau Sumatera

By FN INDONESIA 14 Agu 2025, 11:40:39 WIB Daerah
Majelis Gajah di Pekanbaru Ajak Jaga Gajah, Simbol Harga Diri Pulau Sumatera

Keterangan Gambar : Foto : Dokumentasi Kegiatan Majelis Gajah di Pekanbaru Serukan Perlindungan Gajah sebagai Harga Diri Pulau Sumatera


FN Indonesia Pekanbaru - Dalam rangka memperingati Global Elephant Day 2025 (Hari Gajah Sedunia) yang jatuh setiap 12 Agustus, Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) bersama Nonblok Ekosistem, Sikukeluang, Heal Indonesia, Akar Ilalang, Arasati Hakiki dan Semacam Lab, menggelar Majelis Gajah, sebuah ruang dialog terbuka lintas sektor terkait gajah dengan mengusung tema besar nasional “Gajah Harga Diri Sumatera”, di Rumah Nonblok Ekosistem, Pekanbaru, Selasa malam (12/8/2025). 

Acara dibuka dengan pemutaran film dokumenter “PULANG” produksi FKGI, sebuah potret konflik gajah-manusia, tentang gajah yang kehilangan rumahnya dan tak tahu kemana arah pulang. Film ini mengajak penonton menyelami kenyataan pahit di lapangan, bahwa alih fungsi hutan memaksa gajah keluar dari jalur jelajahnya.

Setelahnya, hadirin disambut pembacaan puisi oleh Riang Gembira, bocah berusia enam tahun dengan puisinya berjudul Pusat Perhatian Gajah. Puisi tersebut mengalir menceritakan kisah seekor anak gajah bernama Togar yang kakinya pernah terluka parah akibat jerat buatan manusia. Togar kemudian ditinggal sendirian oleh ibu dan keluarganya yang ketakutan, hingga akhirnya Togar diselamatkan dan mendapatkan perhatian khusus di Pusat Latihan Gajah Minas. Kini, Togar telah sembuh dan tumbuh menjadi anak gajah yang kuat.

Memasuki sesi diskusi, Yuliantoni dari FKGI memaparkan gajah sebagai barometer ekosistem dan membeberkan fakta-fakta kondisi gajah di Riau, khususnya di kantong habitat Tesso Nilo. Ia menjelaskan bahwa Tesso Nilo adalah salah satu kantong gajah terpenting di Sumatera, namun tekanannya sangat tinggi akibat perambahan hutan dan konflik dengan manusia.

AKBP Nasruddin, dari Kepolisian Daerah Riau, mengungkap bahwa masifnya perambahan hutan menjadi ancaman serius bagi satwa liar.

“Tahun 2025 saja, ada 48 kasus pembukaan lahan di kawasan hutan di Riau. Ini jelas mengancam habitat gajah. Diperlukan sinergi antara kepolisian, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama menjaga kawasan hutan sebagai rumah gajah, sehingga gajah dan manusia dapat hidup berdampingan tanpa ada pihak yang dirugikan,” tegasnya.

Ujang Holisudin, dari Balai Besar KSDA Riau juga menambahkan pentingnya membangun narasi publik yang positif. Bahwa gajah bukanlah hama.

Kerja-kerja konservasi itu punya tantangannya sendiri. Pernah suatu kali saat kami hendak mengembalikan gajah ke habitatnya, justru kami dihadang masyarakat,” ujarnya.

Dari perspektif seni dan budaya, Adhari Donora seniman Nonblok Ekosistem, menafsirkan gajah sebagai simbol kekuatan, kesunyian, dan keteguhan. Ia memandang seni sebagai sarana untuk merawat memori kolektif dan menumbuhkan harapan ekologis.

“Seni bisa menjadi narasi perlawanan yang membentuk kesadaran publik. Gajah dalam karya seni bukan sekadar objek, tetapi subjek yang membawa pesan kehidupan,” ungkapnya.

Sebelum sesi tanya jawab, Ibnu Shem menutup rangkaian dengan membawakan lagu tentang gajah yang mati diracun, dengan sepenggal lirik yang menohok: “Membunuhku memperburuk lingkunganmu, meracuniku tak memperindah kebunmu.” Tema Nasional: Gajah Harga Diri Sumatera Tahun ini, peringatan Hari Gajah Sedunia di Indonesia mengusung tema “Gajah Harga Diri Sumatera”.

Tema ini menegaskan bahwa jika gajah terlindungi, maka kehormatan Sumatera sebagai pulau kaya biodiversitas pun terjaga. Sebaliknya, kematian gajah adalah cermin kegagalan kolektif menjaga identitas ekologis pulau ini.

Ketua FKGI, Donny Gunaryadi, menyampaikan bahwa populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) kini diperkirakan tidak lebih dari 1.000 ekor di alam liar, dengan status Critically Endangered. Dalam satu generasi gajah (50–75 tahun), sekitar 70% habitat potensialnya hilang akibat alih fungsi hutan, pembangunan, dan perburuan.

Ia mengapresiasi langkah pemerintah seperti pengembalian 81.000 hektare kawasan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo dan Bukit Tigapuluh untuk habitat gajah. Namun, upaya ini harus terus dikawal karena konservasi gajah adalah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, akademisi, sektor swasta, media, hingga generasi muda.




Melalui Majelis Gajah di Pekanbaru, para penyelenggara berharap momentum Global Elephant Day menjadi ruang dialog hangat dan membumi, membangun narasi kolektif bahwa melindungi gajah berarti menjaga masa depan manusia itu sendiri. (***)




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment